Diberdayakan oleh Blogger.

Senin, 03 November 2008

Tahun 2008 Tidak Ada Kekeringan (I)

Ancaman kekeringan meluas. Demikian judul tulisan di sebuah Surat Kabar nasional, Mei silam. Isinya kurang lebih menjelaskan bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi musim kemarau tahun ini yang lebih kering. Tulisan hasil liputan wartawan dan wawancara dengan narasumber itu, cukup membuat saya dan beberapa rekan di lembaga penelitian iklim, terperangah. Tergelitik untuk mengungkap lebih jauh fakta meteorologi seputar musim kemarau tahun ini, saya menulis artikel ini.

Ancaman Puso

Mulai awal Juni 2008, Indonesia memasuki musim kemarau. Pergantian musim hujan menjadi kemarau biasanya memang terjadi di Bulan Juni, setelah melewati masa pancaroba sekitar April-Mei. Di bulan Juni pula, umumnya para petani mulai memanen padi. Namun, apa yang terjadi ketika para petani seharusnya berpanen raya? Ratusan bahkan ribuan hektar tanaman padi yang hendak dipanen itu terancam puso (gagal panen) karena tidak memperoleh siraman air yang cukup.

Kondisi menyedihkan terjadi di beberapa wilayah di Pulau Jawa. Sedikitnya 400 hektar tanaman padi di Kabupaten Indramayu mengalami gagal panen (pikiran-rakyat, 16/6). Seluas 182 hektar tanaman padi di Kabupaten Cianjur bernasib sama (pikiran-rakyat, 22/6). Bahkan, ancaman puso yang meluas terjadi di Propinsi Banten. Sekitar 81 persen dari total lahan sawah di Banten mengalami kekeringan, yakni 11.730 hektar (kompas, 23/6). Hal yang sama terjadi di Cirebon, Indramayu, Purwakarta.

Ancaman puso yang menyerang puluhan ribu sawah di Propinsi Banten dan Jawa Barat membuat kita bertanya-tanya, separah apakah kekeringan yang bakal terjadi di musim kemarau tahun ini?

Potensi Kekeringan

Sebenarnya, ada tiga faktor yang memengaruhi pola musim di Indonesia yaitu monsun, ENSO, Dipole Mode. Monsun adalah perilaku angin musiman yang terbentuk setiap enam bulan sekali di Indonesia. ENSO atau El Nino Souther Oscillation merupakan perilaku suhu permukaan laut di Pasifik selatan, terjadi tiap 3-7 tahun. Dipole Mode adalah perilaku suhu permukaan laut di Samudra Hindia, berulang tiap 4-5 tahun.

Penelitian menunjukkan bahwa ketiganya memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pola musim di berbagai wilayah di Indonesia. Indonesia bagian timur lebih banyak dipengaruhi oleh ENSO, karena lebih dekat dengan Samudra Pasifik. Indonesia bagian tengah lebih banyak dikontrol oleh monsun. Sementara Indonesia bagian barat banyak diatur oleh Dipole Mode, mengingat wilayah ini dekat dengan Samudra Hindia.

Untuk melihat potensi kekeringan yang bakal terjadi selama musim kemarau, setidaknya ada lima hal yang dapat dijadikan acuan, yaitu: pola angin (monsun), curah hujan, awan, suhu permukaan laut (SST), Dipole Mode.

1. Pola Angin Monsun

Pola angin yang bertiup di atmosfer khatulistiwa Indonesia menunjukkan apakah sekarang telah tiba musim kemarau atau belum. Sebab, pada musim kemarau, angin yang bertiup di Indonesia bersifat kering. Angin kering ini berasal dari daratan Australia. Karena berasal dari Australia, maka angin yang terjadi di Indonesia adalah angin tenggara atau angin timur (berasal dari tenggara atau dari timur). Lantas bagaimana pola angin tenggara ini di Bulan Juni? Lihat Gambar 1.


Gambar 1 Pola angin monsun rata-rata Bulan Juni 2008
(hasil model DARLAM, Nurzaman A., LAPAN 2008)

Pola angin monsun pada Gambar 1 menunjukkan bahwa selama Bulan Juni, angin dari Pasifik Selatan bertiup melalui Australia. Angin ini menyebabkan sebagian Papua dan Jawa lebih basah dibandingkan wilayah lain di Indonesia.

2. Pola Curah Hujan

Dari pengamatan Satelit TRMM yang dilakukan oleh NASA, Amerika Serikat, curah hujan yang terjadi di Indonesia selama Bulan Juni tampak pada Gambar 2. Wilayah Indonesia yang memiliki curah hujan relatif tinggi antara lain Kalimantan, Sumatera Utara, Sulawesi bagian Timur dan Utara, Papua bagian tengah. Hujan yang relatif tinggi itu berkisar antara 1 sampai 10 milimeter per hari, diperlihatkan dengan warna hijau dan biru.

Sementara di Pulau Jawa, hampir seluruhnya berwarna kuning yang menandakan bahwa curah hujan antara -8 hingga -1 milimeter per hari. Dengan kata lain, kemarau mulai merambat dari bagian selatan Indonesia yaitu Pulau Jawa, Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan. Maka tidak mengherankan jika kekeringan sawah terjadi di sebagian besar Pulau Jawa.


Gambar 2 Anomali curah hujan rata-rata selama sebulan terakhir 24 Juni 2008 dipantau dari satelit. (http://trmm.gsfc.nasa.gov)


Gambar 3 Pola angin dan curah hujan rata-rata Bulan Juni 2008
(Hasil model WRF, Halimurrahman, LAPAN 2008)

Tampak bahwa hasil model curah hujan di atas juga mendukung hasil pengamatan satelit. Pada Gambar 3 terlihat, selama Bulan Juni curah hujan dengan intensitas tinggi (lebih dari 11 milimeter per hari) masih terjadi di utara Papua, Sulawesi, selatan Kalimantan. Sementara di Pulau Jawa, curah hujan memang rendah, yakni berkisar antara 1 sampai 5 milimeter per hari. Bahkan di utara Jawa, curah hujan sudah mendekati nol.

3. Pola Sebaran Awan

Belum lengkap rasanya, jika kita mengamati hujan tanpa memerhatikan awan. Padahal, awan adalah cikal bakal hujan. Dengan melihat pola sebaran awan di atas Indonesia, kita akan mengetahui wilayah mana saja yang rawan kekeringan. Pola sebaran awan dapat dilihat pada Gambar 4.


Gambar 4 Liputan awan harian (30 Juni 2008) tampak dari satelit MT-SAT.
(www.lapanrs.com)

Tampak dari liputan awan harian pada Gambar 4, bahwa selama sehari yaitu pada 30 Juni 2008, awan masih banyak terdapat di atas Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Papua. Sedangkan Pulau Jawa bersih dari awan.

Kondisi awan di Indonesia juga dapat diketahui dari data radiasi gelombang panjang (Outgoing Longwave Radiation, OLR) pada Gambar 5. Nilai OLR menunjukkan seberapa besar pancaran sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi. Semakin tinggi OLR maka semakin banyak permukaan bumi mendapat sinaran matahari. Nilai OLR akan mengecil jika di atmosfer terdapat banyak awan. Karena awan dapat menghambat sinar matahari sampai permukaan bumi.

Sehingga, jika anomali OLR positif, maka besarnya OLR di wilayah itu cenderung lebih tinggi dari data OLR rata-rata jangka panjang (30 tahun). Sebaliknya anomali OLR negatif menunjukkan nilai OLR di daerah itu lebih kecil dari data OLR rata-rata jangka panjang (30 tahun). Dari Gambar 5 dapat diketahui, sebagian besar Jawa, selatan Sumatra, utara Kalimantan, selatan Papua, memiliki nilai anomali OLR yang tinggi (10-20). Artinya, di wilayah tersebut banyak terdapat radiasi gelombang panjang matahari. Dengan kata lain, di wilayah tersebut sudah jarang terdapat awan.


Gambar 5 Data anomali radiasi gelombang panjang (OLR) 23 Mei-17 Juni 2008. (http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

4. Pola SST

Untuk mengetahui seberapa parah kemarau di Indonesia, tinjauan terhadap suhu permukaan laut (SST) di Samudra Pasifik juga perlu dilakukan. Kenapa Samudera Pasifik? Karena Samudera Pasifik berperan penting membangkitkan kejadian El Nino dan La Nina yang berimbas ke Indonesia.

Seperti diketahui, El Nino adalah penyimpangan iklim ekstrem yang terjadi karena kenaikan suhu permukaan laut di Pasifik sekitar khatulistiwa. Sebaliknya, La Nina terjadi karena suhu permukaan laut Pasifik mengalami penurunan. Tak bisa dipungkiri, Samudera Pasifik adalah pengontrol iklim bagi negara-negara di sekitarnya, seperti Indonesia. Tampak dari Gambar 6, anomali (penyimpangan) SST di Samudra Pasifik. Anomali SST ini merupakan anomali terhadap data SST di Samudera Pasifik selama tiga puluh tahun.

Nilai anomali SST positif menunjukkan bahwa suhu di sana cenderung lebih tinggi dari suhu rata-rata jangka panjang (30 tahun). Sementara itu, nilai anomali SST negatif menunjukkan bahwa suhu di situ cenderung lebih rendah dari suhu rata-rata jangka panjang (30 tahun).


Gambar 6 Anomali suhu permukaan laut (SST) Samudera Pasifik rata-rata selama sepekan (11-18) Juni 2008. (http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

Bacaan

1. ENSO Cycle: Recent Evolution, Current Status and Predictions, Climate Prediction Center NCEP, 23 Juni 2008.
2. Impact of the Indian Ocean Dipole on the Southern Oscillation, Swadhin K. Behera1 and Toshio Yamagata1,2, 27 Juni 2001.
3. Muncul Gejala Awal Terjadi Dipole Mode, Kompas, 2 Juli 2008.

*) Penulis adalah (Pembantu) Peneliti Bidang Pemodelan Iklim
Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung

0 komentar:

Posting Komentar

Kemana anda mencari Informsi

RPP dan Silabus

  • RPP dan Silabus EEK kelas 1
  • RPP dan Silabus EEK kelas 2
  • RPP dan Silabus EEK kelas 3
  • RPP dan Silabus EEK kelas 4
  • RPP dan Silabus EEK kelas 5
  • RPP dan Silabus EEK kelas 6

Arsip Blog

Admin

Followers

Basshunter - All I Ever Wanted